myspace layouts

Minggu, 06 Juli 2008

Tentang Tiga Perjalanan


Dua kali acara TV itu terlihat, dua kali saya mendapat nasihat. Ia tentang seorang pesohor muda yang melengkapi rumahnya dengan fasilitas untuk berkumpul banyak orang. Ketika tamu di rumahnya itu sebagian besar adalah anak-anak inilah kurang-lebih pernyataannya: ''Perjalanan yang paling mulia adalah perjalanan ke tempat ibadah. Perjalanan paling baik adalah perjalanan ke tempat kerja. Dan… perjalanan paling menentramkan adalah perjalanan menuju rumah.''

Di hari yang lain, di acara dan televisi yang sama, juga terlihat secara tak sengaja saya dengar pernyataannya. Saat itu, ia sedang kedatangan tamu-tamu tuna netra; ''Kita semua memiliki tiga mata. Mata beneran untuk melihat, mata hati untuk merasa, dan mata kaki untuk melangkah menuju perbuatan.'' Saya mengagumi anak muda ini, tapi soal dia akan saya tulis lain kali. Kita langsung menuju nasihatnya saja.

Kita mulai dari nasihat pertama, tentang tiga jenis perjalanan itu, perjalanan termulia, yakni berjalan ke tempat ibadah. Jadi barang siapa rampung beribadah tidak juga menjadi mulia, berarti yang mulia cuma perjalanannya. Manusianya bisa tetap seperti sedia kala.

Perjalanan kedua adalah perjalanan terbaik, yakni ketika seseorang berangkat kerja. Jadi kerja adalah pusat kebaikan. Maka jika ada orang bekerja hasilnya malah masuk penjara, ia pasti sedang mengingkari hakikat pekerjaannya. Jika ada sopir bus masih tega mengencingi pintu busnya sendiri, dan jika ada pegawai enggan merawat kendaran dinasnya, ia tak layak mendapat kebaikan dari pekerjaannya.

Perjalanan ketiga, ini menurut saya perjalanan yang tidak cuma menenteramkan tetapi juga menyenangkan yakni berjalan menuju rumah, pulang, kepada keluarga. Maka barang siapa punya rumah dan keluarga tetapi tidak memiliki ketenteraman, sesungguhnya ia sedang tidak memiliki apa-apa. Maka siapa saja yang bermain api dengan keluarganya, ia sedang berjudi dengan hidup dan matinya.

Padahal sejauh pengamatan saya, untuk mengakses kebahagaian keluarga ini cuma butuh tindakan-tindakan sederhana. Saya, misalnya, langsung mendapatkan kebahagiaan yang nyaris penuh dari istri saya, ketika ia saya biarkan mengerti seluruh duit yang saya peroleh dan kepadanya sering saya perintahkan mengobrak-abrik dompet saya. Hasilnya luar biasa. Ia segera mengggap saya sebagai lelaki setia dan terpercaya karena tak butuh ''uang laki-laki''. Di masa lalu, uang laki-laki ini biasa ditaruh di lipatan kaos kaki, di saku-saku rahasia dan di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Tujuannya jelas, agar ia digunakan sesuka hati tanpa diketahui istri.

Dampak uang laki-laki ini ternyata dahsyat sekali, terutama jika ia dipergoki. Istri bisa berimajinasi macam-macam dari imajinasi ringan, berat atau sedang. Imajinasi ini sungguh biang bahaya karena sudah dibimbing oleh bibit ketidak percayaan. Di mata istri, kenapa suami menyimpan uangnya secara sembunyi hanya punya satu alasan: semua ini cuma demi kepentingannya sendiri. Dan ego semacam ini hanya mungkin dijalankan dengan dua cara: secara diam-diam atau dengan menyiapkan kebohongan. Dan inilah bahaya bohong, ia tidak mengenal berat dan ringat karena jika ketahuan selalu meninggalkan bekas yang dalam. Batu pertama untuk saling tidak percaya telah diletakkan.

Hidup bersama yang sudah tidak saling mempercayai adalah sumber dari seluruh tragedi. Jika serumah sudah tidak saling percaya, maka di dalam satu selimut pun tidak akan saling meraba. Ketika inilah rumah akan berubah fungsi dari pusat ketentraman menjadi pusat kegaduhan. Seseorang yang gagal menentramkan rumahnya sendiri, sulit untuk diharap membuat kebaikan di dalam pekerjaan dan membuat kemuliaan di dalam peribadatan.


Prie GS - Budayawan dan penulis SKETSA INDONESIA

Tidak ada komentar: