myspace layouts

Kamis, 12 Juli 2007

Puisi Terakhir Basyir


Di hari naas itu, Basyir baru menginjak dua minggu di kontrak kerjanya yang
baru. Hari itu pula, untuk pertama kalinya setahu saya, dia melakukan hal di
luar kebiasaannya, duduk di atap gerbong kereta.




Peristiwa itu, terjadi pada keluarga kami sekitar sebulan lalu. Siapa sangka, Basyir (19) anak kedua kami yang masih menginjak masa remaja dan baru belajar menjadi ‘orang’ harus secepat itu berpulang.

Saat merangkai kembali kenangan akan pribadinya yang sempat kami rekam dalam ingatan, tak ada kenyataan lain bahwa dia seorang anak yang sangat berbakti. Sejak kecil dia sangat pengertian terhadap kondisi kami, kedua orang tuanya yang harus senantiasa mengetatkan ikat pinggang.

Rasanya masih lekat dalam ingatan ketika dia duduk di bangku STM dan menginginkan ponsel seperti teman lainnya. Menjawab pintanya, saya justru balik bertanya, “Basyir, kamu mau terus sekolah atau dibelikan HP?” Mendengar pertanyaan saya, mengertilah dia bagaimana kondisi keuangan orang tuanya.

Sebagai PNS, ayahnya memang bisa dibilang tak berlebih dalam penghasilan. Jadi, semua pengeluaran sudah ada pos-posnya tersendiri. Basyir sangat memahami pertanyaan diplomatis saya. Dia lalu berkata, “Ya tentu, Basyir mau sekolah dong, Mi (Ummi). Nanti kalau Basyir sudah kerja beli sendiri aja deh.”

Selepas STM, Basyir tidak mau langsung melanjutkan kuliah. Alasannya menunggu abangnya selesai kuliah dulu. Sementara itu, dia hendak menambah pengalaman dengan bekerja. Alhamdulillah, niat mulianya terwujud. Lulus STM dia diterima bekerja di salah satu perusahaan otomotif sampai dua kali masa kontrak. Beberapa bulan lepas dari masa kontrak, dia mencoba melamar kembali dan alhamdulillah diterima lagi. Dari hasilnya bekerja itu, ponsel yang ia idamkan sejak lama akhirnya terbeli. Dia juga berhasil memiliki motor meski dengan cara mencicil.

Sebagai remaja yang supel, baik Basyir maupun abangnya memang sering kedatangan teman. Bahkan, rumah kami hampir selalu ramai dikunjungi teman-temannya. Biasanya mereka curhat tentang masalah-masalah mereka pada Basyir yang sering memosisikan diri sebagai "tempat sampah". Atau, kalau tidak begitu, mereka akan ramai berdiskusi tentang segala hal. Basyir sendiri, meski cenderung tak menampakkan masalah pribadi, akan terlihat berapi-api ketika berdiskusi.

Sering ramainya rumah kami sebagai "markas" anak muda, tak lepas pula dari aktivitas keduanya sebagai pengurus karang taruna tingkat RW. Basyir memegang amanah sebagai ketua bidang seni. Mungkin ini lantaran ketertarikan dan kelebihannya di bidang seni, salah satunya puisi. Ya, puisi. Salah satu jejak yang ditinggalkan Basyir kepada kami, yang menjadi pesan terakhirnya sebelum pergi untuk selamanya.

Malam itu, sebagai seorang ibu, tak sedikit pun saya mendapatkan firasat. Rumah pun ramai seperti biasanya dengan para remaja. Hanya, tingkah ayahnya sempat membuat saya bertanya-tanya. Beberapa kali ia menerima telepon. Setiap kali ponselnya berdering, cepat-cepat ia menerimanya di luar. Padahal biasanya cukup di dalam rumah, atau setidaknya di beranda.

Tak tahan dengan rasa penasaran, saya pun bertanya. Namun jawabannya sungguh di luar dugaan. “Mi, ikhlas ya. Apa yang dititipkan oleh Allah, akan diambil kembali.” Perkataan itu justru membuat saya semakin bertanya-tanya. Barulah kemudian suami memberitahukan dengan hati-hati apa yang sebenarnya terjadi.

Namun sehalus apa pun berita itu disampaikan, hantamannya terasa amat menyakitkan di dada saya sebagai seorang ibu. Lemas, bingung, sedih, dan tidak percaya, campur aduk menjadi satu. Kesadaran saya hendak menolaknya dan berharap itu mimpi belaka.

Asa senantiasa tak lepas dari tangan saya, bahwa Basyir masih ada. Dia hanya pulang terlambat seperti pesannya. Namun tetangga yang segera membanjiri rumah kami seolah menguatkan cerita suami, dan memaksa saya menerima kenyataannya.

Suami saya tak putus mengingatkan saya agar ikhlas dan tabah, ketika seluruh tulang tubuh rasanya tak lagi berada di tempatnya. Saya nyaris tak mampu menyangga raga, lemas tak bertenaga. Limbung dengan kenyataan yang harus saya terima dengan segala keikhlasannya.

Di hari naas itu, Basyir baru menginjak dua minggu di kontrak kerjanya yang baru. Hari itu pula, untuk pertama kalinya setahu saya, dia melakukan hal di luar kebiasaannya, duduk di atap gerbong kereta. Dari dan menuju tempat kerja, dia memang memanfaatkan transportasi murah meriah itu: KRL

Tiga hari sebelumnya, dia mengeluh kepada saya tentang kondisi KRL yang selalu sangat penuh. Dia selalu membeli tiket, namun seperti penumpang lainnya yang tak punya pilihan, harus menerima pelayanan ala kadar. Panas dan gerah berdesakan dengan banyak orang adalah kondisi yang wajar. Maka pakaian lecek dan lepek oleh keringat adalah hal biasa, meski hal itu sangat membuatnya tak nyaman.

“Mi, kerja itu capek juga ya?” komentarnya saat bercerita. Menanggapi keluhannya, saya memotivasi dia agar tetap sabar.

Temannya bercerita, di hari dia pergi untuk selamanya itu, tiga orang hendak merampas tasnya. Tentu saja dia berusaha mempertahankan miliknya semampunya. Apalagi selain baju kerja, di dalam tas itu juga tersimpan STNK-nya.

Sayang, Basyir kehilangan keseimbangan. Hendak terjatuh dari atap gerbong dia berusaha mencari pegangan. Namun fatal, yang terpegang olehnya justru kawat kabel bertegangan tinggi. Saya tak sanggup membayangkan bagaimana keadaannya waktu itu. Apalagi untuk sekadar mencuri pandang jasadnya, saya tak kuasa. Biarlah hanya senyum, tawa, serta candanya saja yang mengisi memori saya.

Keadaan jasad Basyir hanya saya dapat dari adik suami yang mengatakan bahwa ada bekas luka bakar di beberapa bagian tubuh sebelah kiri. Sesuai kesepakatan keluarga, jenazah memang disucikan dan dikafani di Rumah Sakit Bhakti Yudha, Depok.

Sungguh, saya berterima kasih sekali memiliki tetangga yang banyak membantu kami dalam proses pengurusan jenazah dari rumah sakit hingga sampai ke rumah. Tanpa mereka dan keluarga kami, entah bagaimana dapat kami lalui beban yang terasa berat ini.

Pukul 01.30 WIB, jenazah tiba di rumah, lalu diberangkatkan ke masjid untuk dishalatkan sekitar pukul 10.00 WIB sebelum dibawa ke pemakaman. Subhanallah, banyak tamu yang berdatangan. Saya haru tak terkira. Selain para tetangga, teman-teman Basyir juga berdatangan. Saya urung mengantar ke pemakaman, khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Namun cerita tentang prosesi pemakaman itu sendiri saya ikuti.

Di pemakaman, salah seorang teman Basyir membacakan puisi terakhir yang dibuat almarhum saat pagelaran seni dan budaya dua minggu sebelumnya. Salah satu bait yang sangat berkesan dan meninggalkan makna dalam dari puisi itu adalah: “…..Teman... bertaubatlah. Kiamat sudah dekat…. ” Seolah mendapat pesan terakhir sebelum benar-benar ditinggalkan, hadirin yang mendengar tak kuasa menahan air mata.

Seperti halnya Basyir yang pergi tak kembali, tasnya yang berisikan STNK pun tak ada kabar, meski kemudian STNK pengganti yang hilang tersebut ada yang menguruskan. Ketika mengingat ketiga penjambret yang menzalimi Basyir, saya justru mendoakan mereka agar mendapat hidayah Allah. Semoga mereka dibukakan mata hatinya untuk tidak mengulangi perbuatan nista merampas milik orang lainnya.

Usia seorang hamba, adalah sebuah rahasia besar dan hanya Dia yang menggenggam. Meski dia diceritakan dalam sebuah hadits akan datang dengan memberikan pertanda semisal uban atau kulit yang mengeriput, namun tak jarang, sang ajal menyelinap begitu saja. Tak kenal usia, tak pandang siapa. Meski sebesar apa pun harapan dan sayang kita padanya.

Selamat jalan anakku Basyir. Ummi, Abu (ayah—red), abang Tufail, dan Jundi pasti suatu ketika akan menyusul. Maafkan Umi dan Abi yang belum bisa mewujudkan segala keinginanmu. Semoga engkau bersuka cita di sisi Ilahi Rabbi.


Seperti dituturkan Ummi Tufail kepada Noer Yalez

Dipublikasi Majalah Islam Sabili E 25/XIV
Editor: Eman Mulyatman

Tidak ada komentar: