myspace layouts

Senin, 21 April 2008

Sawang Sinawang


Seorang gadis cantik berkerudung, rekan sekerja saya, duduk di hadapan saya. Kala itu, hampir setahun lalu, kami sedang makan siang bersama di ruang makan kantor. Umurnya yang hampir sepadan dengan kakak saya. Wajah geulis dengan kulit putih. Tak hanya cantik dilihat tetapi juga bagus akhlak dan ibadahnya. Sepanjang pengetahuan saya, sholat lima waktu selalu ditegakkannya tepat waktu

Namun, di balik keistimewaan yang ia miliki, teman saya itu seringkali mengungkapkan, bahwa saya adalah perempuan paling bahagia! Alhamdulillah, aamiiin, demikian jawab saya selalu.
“Iya lah Nur! Nur teh sudah menikah, punya suami yang bertanggung jawab!”
jawabnya dengan suara lembut. Saya tersenyum. Kini saya mengerti, bahwa ukuran bahagia menurutnya adalah seperti yang diutarakannya barusan.

Kamu juga perempuan paling bahagia, Kamu teh cantik, sholehah, sudah bekerja, masih gadis pasti tabungan sudah berpuluh juta. Coba, kurang apalagi atuh?” saya berbalik tanya.
Ia tersenyum. “Ah, itu mah hanya ukuran duniawi. Aku belum menikah. Aku belum punya jodoh. Seandainya pun nanti aku menikah, aku ngga tahu, apakah suamiku juga baik dan bertanggung jawab. Apakah anak-anakku juga akan lucu dan pintar?” matanya menerawang jauh.

Semua itu hanya sawang sinawang, Begitu istilah dalam bahasa Jawanya. Artinya, kita seringkali melihat kebahagiaan itu milik orang lain, dan tak jarang merasa diri kita sebagai orang yang menderita. Semua itu akan berkurang jika kita bersyukur.
Ya, intinya adalah syukur. Bukankah Allah telah berfirman dalam QS. Ibrahim: 7, “Jika kalian bersyukur, pasti Aku (Allah) akan tambah (kenikmatan) untuk kalian, dan jika kalian ingkar, sesunggahnya adzab-Ku sangatlah pedih”. Perempuan itu pun beristighfar. Saya mengikutinya.

Penggalan kisah kami adalah sebuah contoh kecil, di mana kita lebih sering menghitung nikmat orang lain, dan jarang mensyukuri yang kita terima. Padahal, sesungguhnya nikmat Allah untuk kita tidaklah terhitung. Kita seringkali mengukur kebahagiaan dari apa yang diterima oleh orang lain.
Saat kawan, tetangga atau saudara kita memiliki sesuatu yang kita impikan misalnya, sementara kita belum dapat memilikinya, serta merta kita sibuk menghitung nikmat apa saja yang sudah mereka dapatkan. Berlanjut dengan khayalan kita, betapa bahagianya kita jika seperti mereka.

Padahal, semua manusia tak luput dari masalah. Apa yang membuat kita iri, belum tentu membuat orang tersebut senantiasa bahagia. Maka, terus bersyukur adalah kunci dari semuanya. Dan qonaah, atau trimo ing pandum dalam bahasa Jawa, alias menerima dengan penuh ikhlas apa yang Allah tetapkan untuk kita, adalah hal penting berikutnya.

Karena, sungguh, Allah telah mengukur apa yang terbaik bagi kita. Allah Maha Mengetahui yang terbaik bagi kita. Dengan berhusnudzan terhadap pemberian dan keputusan Allah, insyaAllah, hati kita akan menjadi lapang. Bukankah kita akan bahagia jika hati kita tenang? Dan, bukankah kita hidup untuk bahagia

Thanks Ary N.A

Tidak ada komentar: