myspace layouts

Kamis, 20 Agustus 2009

Mohon dibukakan pintu maaf

Selamat Datang Bulan Ramadhan.

Do'a Malaikat Jibril :

"Ya Allah, tolong abaikan puasa ummat Muhammad,apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal berikut:

Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);

Tidak berma'afan terlebih dahulu antara suami istri;

Tidak berma'afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.

Maka Rasulullah pun mengatakan amiin sebanyak 3 kali


Maka, di gerbang Ramadhan 1430 H, saya mohon dibukakan pintu maaf atas segala salah dan khilaf yang saya lakukan selama ini, baik yang disengaja atau tidak.

Semoga kita bisa memaksimalkan ibadah di bulan berkah, mensucikan hati di bulan suci, bisa meraih takwa dan mendapat Ridho Ilahi dengan pribadi fitri. Amin.

Ramadhan Mubarak!

Kamis, 06 Agustus 2009

Menikah


Menikah:



Dwi Yuliartono dengan Rini Koesoemaningsih
-------------------------
Jakarta, 01 Agustus 2009





Ya Allah..
Andai Kau berkenan, limpahkanlah kami cinta

Yang Kau jadikan pengikat rindu Rasulullah & Khadijah Al Qubro

Yang Kau jadikan mata air kasih sayang Ali & Fatimah Az-Zahra

Yang Kau jadikan perhiasan nabi-Mu yang suci

Ya Allah…
Andai semua itu tidak layak bagi kami, maka cukuplah permohonan kami dengan Ridho-Mu. Jadikan kami sebagai suami istri yang saling mencintai dikala dekat, saling menjaga kehormatan dikala jauh, saling menghibur dikala duka, saling mengingatkan dikala bahagia, saling mendoa’akan dikala kebaikan & ketakutan, saling menyempurnakan dikala peribadatan.


Ya Allah…
Sempurnakanlah kebahagiaan kami dengan menjadikan perkawinan ini sebagai ibadah kepada-Mu, dan bukti kepengikutan dan cinta kami kepada sunnah keluarga Rasul-Mu. Amin

Noer & Aries



Selasa, 04 Agustus 2009

If I'am Boring


Sebuah ibadah yang rutin kita lakoni pasti punya batas jenuh. Seperti ibadah dalam mengurus rumah-tangga, yang saat ini aku alami. Aku seringkali jenuh bila saat anak-anak sakit, kemudian suami juga sangat sibuk dengan pekerjaan di kantornya. Hal itulah yang membuatnya tak mungkin diberi job untuk merasakan kecemasan anak yang sakit.. Jika dipaksakan, aku mengkhawatirkan kesehatannya, karena seringkali dia pulang hingga saat semua orang telah dibuai mimpi.

Kejenuhan dalam urusan kesehariaan memang sebuah kewajaran. Kadang aku sedikit berpikir nakal :”Jika aku masih berkarier, mungkin aku setiap paginya sudah rapi dan cantik, harum lagi!.” Pikiran yang selalu berandai-andai tentu saja tidak dianjurkan oleh Rasulullah, panutan kita. Tapi pikiran yang tidak-tidak tentu saja sering hinggap di kepala, namanya juga I am BORING.

Saat jenuh, kadang datang seorang tamu, dan menceritakan permasalahan yang di hadapinya. Walaupun suntuk, tapi kedatangan tamu ini, tentu saja membuat irama kerjaku bernada lain.. Masalahnya dia datang disaat-saat jam sibuk. Maklum masih pagi hari. Sebagai tuan rumah yang baik, aku berusaha menjadi pendengar yang setia. Hatiku hanya setengah untuknya, yang setengahnya memikirkan jurus apa yang akan aku lakukan, agar sang tamu tidak terlalu berputar-putar pembahasannya


Tapi kedatangan tamu yang sebenarnya belum aku kehendaki, ternyata membawa hikmah tersendiri bagiku. Seperti saat pagi ini, sebelum aku menghadiri ta’lim rutin mingguanku.
“Assalamu’alaikum. Maaf aku mengganggumu. Aku ada perlu sedikit” Ternyata dia seorang ibu yang merupakan tetangga dekatku. Kelihatannya malu-malu untuk bicara padaku. Mungkin dia tahu, hari ini aku punya jadwal keluar pagi.

“Masuk aja bu. Maaf masih berantakan.” Aku pun memersilahkannya duduk di ruang tengah. Dia pun mulai cerita tentang bagaimana situasi rumah-tangganya saat ini. Bagaimana dia merasakan hatinya berserakan, karena sang kekasih memberinya teman sebanding, yang tak pernah di bicarakan sebelumnya, padahal ekonomi mereka masih ngos-ngos untuk memenuhi kebutuhan dapur mereka. Suaminya telah meminang gadis usia belia, yang merupakan pacarnya.

Aku jadi membayangkan diriku. Seandainya aku mengalami hal itu, tentu saja aku akan marah dan aku bergidik, apa yang akan aku lakukan sesuai selintasan pikiranku saat ini. Naudzubillah Mindzalik!

Ujung-ujungnya sih, pinjam uang. Maklum saja, gajiannya untuk dua keluarga. Padahal saat satu keluarga saja, mereka sering kelimpungan. Tentu saja aku memaklumi situasinya. Setelah dia pulang aku sempat duduk dan merenung sejenak.
“Betapa beruntungnya aku. Suami hanya kerja seharian, jarang sekali keluar rumah. Keluar rumahpun bila ada “bisnis”. Maklum dia punya usaha luaran.

Padahal seringkali hati ini tidak bisa menerima, bila suami pulang ditemani kilau gemintang, dan hanya bisa meluruskan punggung setibanya di rumah. Padahal kami, sebagai pasukannya telah menyediakan hidangan untuk di santap bersama. Kerja yang dilakoninya seakan tak pernah berujung. Memang sih sebenarnya untuk memenuhi semua kebutuhan ( mungkin sebagian hanya keinginan ). Tentu saja berdampak pada perasaanku, yang merasa tak punya kawan berbagi. Karena kadang banyak yang ingin aku sampaikan, tapi suami sudah menarik gulingnya. Aku jenuh!

Tapi aku sangat bersyukur pada Yang maha Tahu, karena tahu apa yang sebenarnya aku butuhkan pada saat situasi itu datang. Karena pada saat aku merasa jenuh pada kegiatan rutin yang sepertinya tak ada habisnya, selalu ada saja seseorang yang dikirim oleh Allah Swt untuk datang kepadaku. Tentu saja mereka datang dengan semua keluhannya. Keluhan yang dilontarkan kepadaku ternyata membuatku ‘sadar”. Sadar untuk men-charge energi yang melemah. Sadar untuk tidak menjenuhkan diri. Karena keadaanku ternyata lebih beruntung di banding mereka. Rasa syukur yang seperti tergantung di balik hati, ternyata perlu di pindah ke relung hati.

Thanks Halimah Taslima

Cara Mati


Adakah cara mati seseorang berbeda dengan orang kebanyakan? Adakah cara mati yang diluar nalar manusia. Misalkan mati tanpa menghembuskan nafas terakhir, atau mati dengan nafas tetap berhembus. Atau mungkin ada orang yang mati namun ia masih berbincang-bincang. Adakah persepsi kita tentang mati berbeda-beda?

Saya tidak hendak bicara tentang tahayul, bahkan ini adalah realita. Pada dasarnya pandangan kita tentang mati adalah sama, orang mati ya tidak bernafas, tidak bergerak dan tidak pula bicara. Setiap orang mati dalam keadaan yang sama, meninggalkan kegetiran dalam sebentuk jasad, dan onggokan daging yang tak lagi memiliki ciri kehidupan. Itulah mati, algoritmanya tidak berubah sepanjang masa, tua muda, kaya miskin, aktifis atau pengangguran, semua mengalami kematian dalam urutan yang sama.

Secara kedokteran tradisional mati dapat didefinisikan dengan sederhana yaitu berhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan : sistem syaraf pusat, jantung dan paru, secara permanent (permanent cessation of life). Ini yang disebut sebagai mati klinis atau mati somatis. Seorang yang mati dengan seluruh sistem pernafasan dan jantung berhenti belum dinamakan mati secara final, selama sistem syaraf pusatnya masih bekerja.


Saya sedikit meringis ketika mengetahui betapa peristiwa yang sebenarnya sudah biasa dan sering kita temui, ternyata begitu kompleks dan rumit. Pada dasarnya saya, anda dan orang kebanyakan berfikir bahwa mati adalah hilangnya nyawa dari jasad. Begitulah, nyawa menjadi kambing hitam akan keberadaan hidup manusia, namun dimana dan seperti apa nyawa adalah belum pernah terbukti secara ilmiah. Fakta yang sungguh menyakitkan. Sejauh dan sehebat ilmu pengetahuan teknologi modern manusia hari ini, ternyata belum bisa memformulasikan nyawa.

Mungkin sudah ratusan penelitian yang dilakukan untuk menemukan ”bentuk’ nyawa sesungguhnya. Namun, hingga hari ini tetap tak ada claim dan paten tentang siapa penemu nyawa. Mungkin berbagai detektor gelombang dan sensor sinyal telah dibuat tetap saja roh dan nyawa menjadi onggokan kata dalam sampah metafisika.

Namun, marilah kita renungkan sejenak, pada dasarnya kita memang memiliki definisi yang sama tentang kematian. Ketika mengetahui seorang dalam kondisi mati, kita akan berfikir tentang kondisi tidak bergerak, tidak bernafas, tidak berpikir, tidak menanggapi, yang semua ini merupakan kondisi akhir dari hidup manusia. Inilah pandangan fundamental manusia tentang mati. Bukan mati otak, mati somatic atau mati klinis.

Kita bisa buktikan ini di sekitar kita. Seorang mahasiswa dengan kendaraan bermotor mengalami kecelakaan dan terluka di bagian kepala akhirnya mati karena kehabisan darah. Seorang pengusaha kaya sekarat di atas ranjang rumah sakit mewah akhirnya mati karena kanker ganas menggerogoti paru-parunya. Seorang ibu muda melepaskan seluruh kekuatannya saat melahirkan anak pertamanya akhirnya mati karena pendarahan hebat. Saat membaca ketiga kondisi mati ini kita akan terfikir tentang mati yang sama. Hingga kini dan selanjutnya, definisi mati pada diri kita tak pernah berubah, pada siapa saja dimana saja, mati merupakan kondisi tidak bergerak, tidak bernafas, tidak berpikir, tidak menanggapi, yang semua ini merupakan kondisi akhir dari hidup manusia.

Tak ada lagi manusia bicara setelah mati, tak ada lagi manusia bergerak, bernafas, semua ciri kehidupan telah usai setelah mati. Jasad utuh tiada guna, meski seorang mati dalam keadaan segar bugar, misalkan mati terkena racun, atau mati karena kehabisan nafas. Seluruh bagian tubuh yang masih segar menjadi tanpa arti, jantung, paru-paru, mata, karena hilangnya satu komponen : nyawa, maka mereka tak lagi berarti. Meskipun sel-sel tubuh masih hidup, untuk beberapa jam, bahkan sel-sel hati masih hidup hingga beberapa hari, adalah sia-sia karena kondisi mati sudah ‘on’.

Mati memutus cerita indah dunia, meski mahasiswa itu baru saja mendapat cumlaude, meski pengusaha itu baru memenangkan sebuah transaksi besar, meski ibu muda itu mendapatkan cinta tulus seorang lelaki idaman, tetap saja, mati adalah akhir cerita hidup. Siapapun, dimanapun, ia tetap sama. Algoritmanya tidak berubah sepanjang masa.

Setelah mati, jasad dikubur, keluarga meminta maaf, harta warisan dibagi dan habislah perkara. Setiap orang, tak melihat apakah dia pejabat, rakyat, aktifis mahasiswa atau pengangguran, semua mengalami kondisi mati dalam runtun yang sama.

Jika memang demikian, lalu apa yang membedakan manusia? Apakah gerangan yang membedakan cara mati kita dengan orang lain?

Satu hal yang membedakan cara mati manusia, adalah cara hidupnya. Waktu manusia menyusun cerita, itulah hidup. Saat nafas, gerak, ucapan, pikiran masih berfungsi, itulah waktu yang diberikan pada kita. Cara hidup inilah yang menentukan cara mati kita. Bagaimana kita menggunakan nafas, gerak, ucapan, pikiran, saat semua itu berfungsi, akan menentukan cara mati kita, apakah baik atau buruk.

Mahasiswa itu mungkin mati dalam kondisi baik, karena setelah mati ia dikunjungi ratusan teman, sahabat, keluarga yang ingin melayat di rumahnya. Ia kecelakaan saat pulang pengajian dan baru saja mengakhiri amanah sebagai ketua lembaga dakwah kampus dengan predikat sangat baik. Joni sang pengusaha, layatannya sepi pengunjung, setelah kematiannya hartanya jadi rebutan, ada pula komite yang menduga korupsi di perusahaannya, belum lagi tanggungan utang yang ternyata ia simpan diam-diam. Sementara Rani, ibu muda itu meninggal dengan tersenyum. Senyumnya ditangisi oleh suami yang tabah dan bayi perempuan yang cantik rupawan.

Syeikh Ahmad Yasin, diantar ribuan orang saat jasadnya dibawa ke tanah peraduan. Namanya dikenang, jasanya dihargai, dan hidupnya menjadi inspirasi banyak orang. Hasan Al-Banna, meski meninggal dengan sangat cepat dan mengagetkan, banyak orang yang turut menangis di sela sholat ghoibnya. Namanya tak pernah dilupakan, pemikirannya terus mengalir, dan banyak pula manusia yang berubah dengan membaca buku dan mengikuti pemikirannya. Dan Muhammad, seorang nabi paling sabar, meninggal dengan mengingat umatnya, ‘ummati… ummati…’ Shalawat dan salam bagi Muhammad, nabi yang tak pernah merasakan enaknya tidur dengan bantal dan kasur.

Kamal AtTaturk, Ariel Sharon, Lenin, mereka meninggal dengan kehinaan. Banyak cacian dan makian selama hidup mereka, dan saat mati, lebih banyak lagi yang bersyukur dan berdoa supaya orang-orang seperti mereka tidak hidup kembali.

Bukankah cara mati kita ternyata berbeda-beda. Cara mati mana yang anda pilih? Jika anda mulai berfikir tentang cara mati, mulai sekarang, berfikirlah tentang cara hidup. Sebuah hadist Nabi cukup untuk mengingatkan kita bersama.

“Orang yang cerdas adalah orang yang menjaga dirinya dan beramal untuk (kehidupan) setelah mati”

Wallahua’lam bisshowwab

Thanks Ashif Aminulloh Fathnan